Sumber Hukum Islam yang Wajib Anda Tahu
Sumber hukum islam| Manusia tidak akan masuk surga kecuali dalam keadaan muslim. Artinya, manusia harus menerima islam sebagai agamanya. Karena islam adalah agama yang benar, agama yang diridhai oleh Allah SWT. Di dalam memeluk dan mempelajari agama islam, umat islam diperintahkan mempelajarinya secara menyeluruh agar umat islam mengetahui kebenaran islam.
Cara untuk memahami ajaran islam adalah dengan mempelajari sumber-sumber hukum islam. Adapun sumber-sumber hukum islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Hadits (as-sunah), kemudian setelah itu yang menjadi sumber hukum islam adalah ijtihad.
Setaelah mengetahui ajaran-ajaran islam, umat islam diperintahkan untuk mempelajari islam dengan benar. Pengamalan ajaran islam dengan benar dapat mengantarkan meraih kebahagian yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qara’a-yaqra’u-qira’atan-qur’anan yang berati sesuatu yang dibaca atau bacaan. Namun sebagian ahli ada yang berpandangan bahwa kata Al-Qur’an bukan berasal dari kata apapun, termasuk bahasa Arab, melainkan nama khusus untuk kalamullah yang diturunkan kepada Rasul yang terakhir, yaitu Muhammad SAW.
Adapun secara terminologi, Al-Qur’an berarti kalamullah (firman Allah) yang mengandung mukjizat yang ditunkan kepada nabi dan rasul terakhir, dengan perantaraan Al-Amiin Jibril as yang turunkan secara berangsur-angsur menggunakan bahasa Arab, ditulis di dalam mushaf yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup surat An-Nas, membacanya dinilai sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW, dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia.
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan)yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahal yang besar.” (Q.S. Al-Isra: 9)
Sesuai dengan ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah SWT, yaitu petunjuk menuju jalan yang lurus. Jalan luirus yang dimaksud adalah jalan yang benar, yaitu jalan yang mengarahkan kepada surga-Nya Allah.
Dari beberapa pengertian diatas dapat dirumuskan bahwa:
- Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), yang berarti seluruh kata dan kalimat yang berada dalam Al-Qur’an adalah berasal dari Allah SWT.
- Al-Qur’an adalah mukjizat, maka bukanlah Al-Qur’an jika tidak mengandung mukjizat.
- Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada rasul yang terakhir (Nabi Muhammad SAW).
- Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT melalui perantara malaikat penyampai wahyu, yaitu Jibril as.
- Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur sleama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.
- Al-Qur’an tertulis dalam mushaf.
- Al-Qur’an bernilai ibadah jika membacanya.
- Al-Qur’an dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.
- Al-Qur’an adalah hidayah atau petunjuk bagi umat manusia.
- Al-Qur’an berbahasa Arab, baik tulisannya atau melafalkannya.
Nama-Nama Al-Qur’an
Tidak hanya nama-nama-Nya yang berbeda-beda disebutkan dalam Al-Qur’an. Namun Allah SWT juga menyebut Al-Qur’an tidak hanya dengan nama Al-Qur’an saja, tetapi ada nama-nama lain yang juga digunakan untuk menyebut Al-Qur’an. Berikut ini adalah nama-nama lain yang digunakan untuk menyebut Al-Qur’an, yaitu:
- Al Kitab. Al-Qur’an disebut juga dengan Al-Kitab karena merupakan sinonim baginya (Q.S. Surah Al-Baqarah ayat 2).
- Al-Furqan (pembeda). Al-Qur’an disebut juga dengan Al-Furqan karena memiliki fungsi sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil. (Q.S. Al-Furqan:1).
- Az-Zikru (pemberi peringatan), Al-Qur’an juga disebut dengan Az-Zikru karena memiliki fungsi sebagai pemberi peringatan. (Q.S. Al-Hijr: 9).
- Al-Mau’izah (pemberi nasihat). Al-Qur’an disebut juga Al-Mau’izah karena ia merupakan pelajaran atau nasihat (Q.S. Yunus: 57).
- Al-Hikmah (yang mengandung kebijaksanaan). Al-Qur’an disebut juga Al-Hikmah karena segala yang terkandung di dalam Al-Qur’an adalah kebijaksanaan. (Q.S. Al-Isra: 39).
- Asy-Syifa (obat). Al-Qur’an disebut juga dengan Asy-Syifa karena mampu mengobati atau menyembuhkan penyakit baik lahir maupun bati (Q.S. Yunus: 57).
- Al-Huda (petunjuk). Al-Qur’an disebut juga dengan Al-Huda karena ia juga berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia (Q.S. Al-Jin: 13)
- At-Tanzil (kitab suci yang diturunkan, Al-Qur’an disebut juga dengan at-Tanzil karena ia adalah kitab suci yang diturunkan (Q.S. Asy-Syura: 192)
- Ar-Rahmah. Al-Qur’an disebut juga Ar-Rahmah karena ia berfungsi sebagai petunjuk dan karunia bagi umat manusia dan alam semesesta (Q.S. An-Naml: 77).
- Ar-Ruh. Al-Qur’an disebut juga dengan Ar-Ruh karena ia mampu menghidupkan akal fikiran dan membimbing manusia kepada jalan yang lurus. (Q.S. Asy-Syura: 52).
- Al-Bayan. Al-Qur’an disebut juga dengan Al-Bayan karena ia berfungsi sebagai penjelas dan penerang kebenaran dari Tuhan. (Q.S. Ali-Imran: 138).
- Al-Kalam. Al-Qur’an disebut juga dengan Al-Kalam karena ia adalah firman Allah SWT dan merupakan kitab suci yang diucapkan (Q.S. At-Taubah : 6).
- Al-Busyra. Al-Qur’an disebut juga dengan Al-Busyra karena ia berfungsi sebagai pembawa kabar gembira. (Q.S. An-Nahl: 102).
- An-Nur. Al-Qur’an juga disebut dengan An-Nur karena ia mampu membawa manusia memperoleh cahaya ketuhanan. (Q.S. An-Nisa: 174).
Kedudukan dan Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW pada dasarnya memiliki kedudukan dan fungsi. Adapun kedudukan dan fungsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang paling tinggi dalam kepercayaan orang islam. Hal ini berdasarkan pada firmal Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa: 59.
Artinya:
“ hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa:59)
Ayat tersebut diatas mengisyaratkan bahwa kitab suci Al-Qur’an merupakan pedoman, pandangan dan sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan.
Sedangkan, dalam ayat lain disebutkan bahwa:
Artinya:
“sesungguhnya Kami telah menurunkan kita kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisa: 56).
Berkaitan dengan hukum-hukum di dalam Al-Qur’an, para ulama mengelompokkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an menjadi tiga bagian, yaitu:
- Akidah atau Keimanan
- Syariah atau ibadan dan muamalah. Dalam hal ibadah, ada yang berhubungan langsung dengan Allah SWT (ibadah mahdah) dan ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia (ghairu mahdah), sedangkan dalam hal muamalah, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya yang mencakup munakahat, mawaris, jinayat (pidana), hudud (hukum kejahatan), jual beli, perjanjian, tata negara atau pemerintahan (khilafah), makanan (at’imah), penyembelihan (udhiyah), pengadilan (aqdiyah), peperangan (jihad) dan hubungan antar bangsa.
- Akhlah atau budi pekerti yang meliputi akhlak terhadap Allah SWT, akhlah terhadap sesama makhluk, dan akhlak terhadap alam semesta.
b. Fungsi Al-Qur’an
Allah SWT menurunkan wahyu Al-Qur’an kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umat manusia pada dasarnya memiliki beberapa fungsi. Beberapa fungsi Al-Qur’an yang wajib kita ketahui diantaranya:
- Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang dianugerahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
- Al-Qur’an menjadi pembeda antara sesuatu yang haq dan batil.
- Al-Qur’an sebagai pandangan, pedoman hidup, sumber dari segala sumber hukum, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan, moral dan sebagainya.
- Sebagai hakim yang diberikan wewenang oleh Allah SWT untuk memberikan keputusan terakhir mengenai beberapa masalah yang sedang dipersilisihkan di kalangan pemimpin agama dari berbagai macam agama dan sekaligus sebagai korektor.
- Al-Qur’an juga menjadi penyempurna kitab-kitab yang diturunkan pada masa sebelum nabi Muhammad, seperti kitab zabur, injil, dan taurat hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S. Al-Hijr: 9.
2. Pengertian Hadis
Kata hadis berasa dari bahasa Arab yang memiliki makna baru,tidak lama, ucapan, pembicaraan dan cerita. Dalam istilah ahli hadis, apa yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang barupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan Nabi Muhammad SAW), serta penjelasan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama dalam islam, sedangkan hadis adalah yang kedua. Sebagaimana pernyataan yang pernah diucapkan oleh Rasulullah SAW yang artinya: “aku tinggalkan dua perkara untukmu sekalian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasul-Nya” (H.R. Imam Malik).
Sementara itu, Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman.
Artinya:
“ hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59.)
Mayoritas ulama di dunia juga berpendapat bahwa hadis merupakan sumber hukum yang kedua, hal ini didasarkan pada firmal Allah:
Artinya:
“ Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (Q.S. Ali-Imran: 132)
Artinya
“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman:
“ . . . apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah . . .” (Q.S. Al-Hasyr: 7).
Setiap pembahasan mengenai hadis, tidak dapat dipisahkan atau selalu bersinggungan dengan as-sunah. Menurut ahli ushul fiqih, as-sunah didefenisikan sebagai “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syarak (hukum agam islam).
Defenisi ahli ushul fikih membatasi pengertian sunah hanya pada sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari nabi Muhammad SAW yang bekaitan dengan penetapan hukum syarak. Dengan demikian segala sifat, perilaku, sejarah hidup Nabi Muhamammad SAW, yang tidak ada hubungannya dengan hukum syarak tidak dianggap sebagai sunnah.
Lain dari pada itu, terdapat sebagian dari ulama yang mendefenisikan sunah sebagai segala yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), maupun sifat-sifat dan perilaku beliau, atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi nabi dan rasul. Ulama yang menfenisikan sunah seperti itu memandang diri Nabi Muhammad SAW sebagai uswah hasanah atau suri teladan, qudwah (contoh atau teladan)yang paling sempurna, bukan semata-semata sumber hukum.
Klasifikasi Hadis
Hadis menyebar di kalangan umat islam sangat banyak jumlahnya. Berdasarkan sifatnya, hadis-hadis dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
- Hadis sahih: adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya tersambung, tidak ber-illat, dan tidak ganjal. Illat hadis yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai kesahihan suatu hadis.
- Hadis hasan: adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak memiliki ingatan yang kuat (hafalannya), bersambung sanadnya, serta tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadis hasan termasuk hadis yang makbul biasanya dijadikan hujjah untuk sesuatu yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.
- Hadis daif: adalah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadis sahih atau hadis hasan. Hadis daif banyak macam dan ragamnya serta mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadis sahih atau hasan yang tidak terpenuhi.
Kedudukan dan Fungsi Hadis
Sebagaiman telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa hadis berkedudukan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan beberapa fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Bayan at-taqriri atau bayan at ta’kid
Bayan at-taqriri atau bayan at ta’kid adalah mempertegas atau memperkuat sumber hukum islam yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an.
2. Bayan at tafsir
Bayan at tafsir, adalah menjelaskan , menafsirkan dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum dan sama (tidak jelas). Misalnya, ayat AL-Qu’ran yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat dan tidak memaparkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya. Contoh lain, di dalam Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah, dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
Artinya:
“ Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi . . . .” (Q.S. Al-Maidah: 3)
Ayat diatas menjelaskan bahwa bangkai haram untuk dimakan, tetapi tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadis yang menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang. Sebagaimana sabda Rasulullah:
Artinya:
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa . . . . “ (H.R. Ibnu Majah).
3. Bayan at tasyri’
Bayan at tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an, namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, yaitu dengan cara membasuhnya tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Apabila ad anjing yang menjilat ke dalam bejana, maka basuhlah tujuh kali, dan campurlah basuhan kedelapan dengan tanah,” (H.R. Muslim).
3. Pengertian Ijtihad
Ijtihan secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu jahada yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh, sedangkan secara terminologi di dalam ilmu fiqih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istimbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Secara umum ijtihad mengandung pengertian berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, menggunakan akal fikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.
Hal tersebut didasarkan pada dialog Nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama Muadz,”bagaimana kamu menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?” Muadz menjawab,” saya akan menetapkan hukum dengan Al-Qur’an.” Rasul bertanya lagi,” seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al-Qur’an?“ Muadz menjawab,” saya akan tetapkan dengan hadis.” Rasul bertanya lagi, ”Seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al-Qur’an dan hadis,” Muadz menjawab,” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. “Kemudian Rasulllah SAW menepuk bahu Muadz bin Jabal, tanda setuju.”
Kisah mengenai Muadz diatas menjadikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum islam setelah Al-Qur’an dan hadis.
Kaum muslim atau orang yang melakukan ijtihad juga disebut mujtahid. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh mujtahid, yaitu:
- Memahami Al-Qur’an dan asbabul nuzulnya.
- Memahami hadis dan asbabul nuzulnya.
- Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab.
- Mengetahu tempat-tempat ijmak.
- Mengetahui ishul fiqih.
- Mengetahui maksud-maksud syariat.
- Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
- Bersikap adil dan taqwa.
Selain delapan tersebut diatas, beberapa ulama juga menambahkan tiga syarat lagi, yaitu:
- Memahami ilmu ushuluddin (ilmu tentang pokok akidah islam).
- Memahami ilmu mantiq (logika).
- Mengetahui cabang-cabang ilmu fiqih.
Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
- Ijtihad adalah sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis. Adapun fungsi ijtihad adalah untuk memutuskan atau menetapkan hukum sesuatu yang tidak ditentukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur’an dan hadis, ijtihad terdiri dari beberapa bentuk sebagai berikut:
- Ijmak (ijma’) adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atau suatu masalah yang berkaitan dengan syariat.
- Qiyas (qiyas) atau ra’yu adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada ketentuanyya berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya dengan memperhatikan kesamaan antara kedua hal tersebut.
- Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu masalah dari masalah-masalah sejenis yang lain serta menetapkan hukum yang lain bagi masalah itu dengan alasan yang kuat.
- Al Maslahah al mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur’an dan hadis untuk mencapai kebaikan.
- ‘urf adalah pengembalian hukum berdasarkan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik dalam kata-kata maupun perbuaatan dan tidak bertentangan dengan syariat islam.
Selain itu ada pula yang menambahkan beberapa bentuk ijtihad, yaitu:
- Istislah adalah menetapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara konkret dalam Al-Qur’an dan hasid yang didasarkan atau kepentingan umum atau kemaslahatan umum atau untuk kepentingan keadilan.
- Istishab adalah meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut.
- Istisdlal adalah menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara konkret dalam Al-Qur’an dan hadis dengan didsarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum islam. Adat istiadat hukum agama sebelum islam biasa diakui atau dibenarkan oleh islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan hadis.
- Zara’i adalah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai maslahaht atau untuk menghilangkan mudharat.
Berijtihad dapat ditempuh dengan cara ijmak dan qiyas, ijmak adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijmak hukumnya diperbolehkan, bahkanmenjadi keharusan.
Contoh ijmak adalah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al-Qur’an seperti sekarang ini. Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karea antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al-Qur’an karena diantara keduanya terdapat persamaan illat, yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an atau hadis tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al-Qur’an.
Sekian informasi seputar sumber hukum islam, semoga bisa memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan kepada kita semua. Terima kasih.
Comments
Post a Comment